Amrozi

well..
It's just a fiction which is made by myself and in this case anggap aja ini cuma "anekdot" [?]
sorry kepanjangan ^^



Amrozi

Kertak gigi penuh kesal, tangis, dan tawa memenuhi perasaan orang-orang yang mengenalnya. Amarah milik mereka yang membencinya, menghujatnya, atau bahkan merajamnya! Tangis milik keluarganya, dan mungkin orang yang menyesali perbuatannya? Dan tawa jelas bagi orang yang setuju tindakannya, mengajari dan menanamkan itu semua dalam hidupnya, bagi mereka kaum tersebut, berteriak dan mengucap syukur, meyakini bahwa misinya berhasil, dan ajaran mereka yang mendidik atau meracuni pikiran orang yang percaya. Namun orang yang mereka permasalahkan tidak peduli apa kata mereka, apa pikir mereka, apapun tentang di luarsana. Dia hanya yakin dan tetap yakin pada apa yang diajarkan kepadanya. Tercuci otaknya, dihasut pandangannya, kata mereka. Di sisi lain, hidupnya yang tak bisa diperkirakan lagi tak membuatnya sesak dada. Ia tetap tersenyum, dan tertawa selepas-lepasnya. Siapa tahu ia sedih? Mana tahu ia menyesal? Tidak ada yang tahu, ketika senyum tak lagi jadi bukti.
“Apa yang dia buat? Dia pikir itu cara masuk surga? Dia bunuh bukan hanya orang kafir tapi juga sesamanyaIndonesia yang tak tahu pokok masalahnya. Apa orang yang membunuh kafir masuk surga dan mereka yang kafir akan masuk neraka? Belum tentu! Semua agama menawarkan hal menggiurkan bila umat taat pada Tuhannya, dijanjikanlah surga bagi mereka yang percaya. Namun surga bukan hanya milik agama dia, harusnya dia tahu itu.” Sebut sebuah sumber di media.
Sedangkan, melihat pernyataan itu pendapat lain tak mau kalah memberi tanggapan: “Untuk mengerti cara pikir dia, anda haruslah seiman dulu dengannya, hidup di lingkungannya, berguru dengan guru-guru keagamaannya dan dicucilah otak anda seperti dia. Bagi kita yang mencari Tuhan yang sebenarnya, namun bagi dia mungkin dia mendewakan agamanya, memuja Tuhan dan tak peduli lagi kaum lain. Lalu dimana dia taruh Hukum Kedua Allah yang sama dengan itu ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri?”
Kalau semudah itu masuk surga, mengapa tak orang-orang yang berbuat ‘kriminal’ agama saja semua yang masuk kesana? Toh kriminal disini untuk membela nusa, bangsa dan agama. Lebih tepatnya agama! Meski nyatanya pergi ke surga lebih mudah dibandingkan pergi ke Roma yang butuh banyak uang, karena pergi ke surga dapat dilakukan dengan bermodalkan niat baik yang membuahkan perbuatan baik. Niat yang baik mungkin ada baginya namun tak lain lagi cara untuk membuatnya nyata selain menghancurkan tempat yang menurutnya jadi ajang berbuat maksiat dan membinasakan ratusan kafir berdosa itu.
Mari kita lihat keadaan si buah bibir. Meringkuk, mendekam, mengkhayal, dan sesekali terttawa. Tampak ia tak menyesali perbuatannya, ia senang, ia bahagia, ia siap mati demi agama. Ia tetap teguh pada idealismenya, dan tentu saja anti kaum barat.
“Ali Amrozi bin Haji Nurhasyim,” ucap sebuah suara, memecah keheningan ruang isolasi yang gelap, dan mencekam.
“Ya?” Sahutnya, santai seperti biasa.
“Mari keluar, sudah waktunya sekarang,” jawab suara itu yang ternyata milik petugas kepolisian.
Sedetik kemudian Amrozi beranjak bangun dan derit gembok ruang isolasi terdengar, tampaknya si petugas sedang membukakan pintu baginya. Ia menghirup udara bebas, dan rasanya ia senang ia bisa tinggal di ruang isolasi itu, karena dengan begitu ia lebih mensyukuri udara yang masih bisa dihirupnya dibandingkan orang yang sibuk dengan kesehariannya di luar sana. Sambil berjalan dengan langkah gontainya, ia tersenyum dan tertawa dalam hati, tak sabar ia menunggu pengadilannya di akhirat sana. Penasaran ia dengan gugatan-gugatan para malaikat disana.
“Bisakah tolong pakaikan tutup mata itu sekarang?” Tanyanya kepada petugas kepolisian yang menggiringnya menuju tempat terakhirnya.
“Tentu,” Jawab petugas itu mengiyakan karena dia sudah tidak peduli lagi tujuan Amrozi memintanya melakukan itu.
Gelap, tentu saja tak bisa dilihatnya apa-apa lagi. Lalu tiba ia di tempat dimana si petugas menyuruhnya berhenti dan diam. Ia disandarkan di sebuah tiang, dan diikatlah dia disana. Angin terus berhembus. Seakan membisikkan kata, dan perasaan aneh melanda dirinya. Ia ingat ini adalah detik-detik terakhirnya dapat memijak kaki di bumi ini. Dan dia mulai berpikir tentang keluarga para kafir itu, apa yah yang mereka rasakan? Dan saat dia ingin berkata tunggu sambil mengacungkan tangan..
“Dor!” Sebutir peluru menembus tubuhnya, sakit, rasanya sakit tertahan dan sepersekian detik kemudian rasa sakit itu hilang berganti rasa ringan. Ia sudah terlepas dari tubuh yang tak luput dari maut, ia sudah terlepas dari berbagai ancaman terhadap tubuhnya yang rentan itu. Kini, ia hanya melayang-layang, dan sampailah ke sebuah ruang hampa yang berwarna putih, seperti yang ia sering lihat dulu di film-film keagamaan. ”Apakah ini surga?” tanyanya dalam hati
“Tidak anakku, ini bukanlah surga, ini adalah perhentian sementara bagi orang-orang yang sepertimu,” jawab sebuah suara.
“Apa maksudnya?” tanya Amrozi bingung.
“Ini tempat kesaksian, tempat pengakuan, tempat pertobatan, sekaligus tempat dimana engkau akan merasakan betapa nikmatnya neraka,” jawab suara itu lagi yang ternyata milik seorang malaikat.
“Maksudnya, aku diadili?”
“Mungkin bisa dikatakan seperti itu, tapi tenang engkau tak akan disakiti disini, tunggu sebentar nanti aku kembali kesini,” jawab si malaikat itu.
Amrozi yang masih agak bingung akhirnya hanya berdiam diri dan mengangguk kepada malaikat itu. Iapun berjalan-jalan di sekitar sana dan melihat dua buah pintu di ujung ruangan itu. Di sebelah kirinya terlihat pintu merah berbingkai hitam dan pintu putih berbingkai cahaya di sebelah kanannya. Ia coba memasukki pintu yang terletak di sebelah kirinya terlebih dahulu, kira-kira sekitar 1 meter dari sana ia tertabrak suatu dinding yang tak dapat ia lalui, ia mencoba berkali-kali masihlah terulang hal yang sama, ia mencobanya pada menuju pintu di sebelah kanannya juga, namun yang terjadi adalah ia kembali tertahan 1 meter dari pintu kedua itu. Ia akhirnya merenung dan menyadari bahwa ruang hampa itu seolah membentuk selapis dinding tembus pandang. Seketika ia bosan dan melihat kearah bawah. Terkejut ia hingga sempat tergguncang tubuhnya, ia lihat disana wajah korban-korbannya sebelum dibunuhnya, sedang bermain riang disana, para turis dari berbagai Negara, ada orang Australia, Britania, Amerika, Jerman, Swedia, Belanda, Prancis, Denmark, Swiss, Brasil, Kanada, Korea, Jepang, Italia, Portugal, atau bahkan orang Indonesia sendiri, teman-teman sebangsanya. Ia juga lihat saat dia membom Bali bersama sekutu-sekutunya, serta amarah para keluarga korban dan keluarganya serta orang yang iba kepadanya. Orang yang memujinya, yang menangisi, memaki maupun mendoakannya. Tentu dipujilah dia oleh pemuka-pemuka agamanya, dia telah membela agamanya, ia memperjuangkan ajaran para petinggi agamanya. Ditangisi nasibnya oleh keluarga-keluarga yang masih tak paham jalan pikirnya. Dimaki ia oleh keluarga korban-korbannya, bahkan tidak hanya itu khalayak banyak juga ikut mengatainya, memperlakukan dia bagai hewan, dan didoakanlah dia oleh para orang yang prihatin terhadap dia dan masih berharap ia dapat kembali ke jalan yang benar. Namun semua itu adalah penantian yang sia-sia, semuanya sudah terjadi dan beras yang sudah menjadi nasi apalagi bubur tidak dapat kembali jadi butiran beras lagi, kan?
“Tidak, inilah saatnya kau melihat kebenaran yang sesungguhnya,” jawab si malaikat yang ternyata sudah kembali dali keperluannya yang entah apa itu.
“Aku adalah benar, dan agamaku adalah benar, Tuhan senang melihatku seperti para guru-guru keagamaanku, senang betul mereka punya murid sepandai aku,” sahut Amrozi sombong.
Seketika seberkas cahaya yang sungguh terang dan menyilaukan sampai disana, hangat rasanya di tubuh Amrozi, dan seberkas cahaya itu berbicara, berbicara kepada Amrozi.
“Selamat siang anak-Ku yang Kukasihi, Apa kabarmu hari ini?”
“Sungguh sangat baik, Allah! Aku senang akhirnya bisa bertemu Engkau dan ingin kudengar apa pendapatmu sendiri soal perbuatan kami itu, para kafir it uterus berceloteh bagai kodok saja, saling sahut menyahut yang intinya mencaci aku,”
“Memang perlu kau ketahui, aku senang dengar niat baikmu membela agama-Mu, tapi ada satu hal yang perlu kau perbaiki,”
“Apa? Itu apa? Adakah hal lain yang lebih mulia dari perbuatanku ini?”
“Mungkin bagi dirimu tidak, namun kau anggap apa Aku ini? Tuhanmu? Allahmu?”
“Tentu, Engkau Allah yang Mahatinggi, tak ada Tuhan yang setinggi diri-Mu. Apalagi Tuhan para kafir dan penyesat itu, Buddha, Dewa-Dewi mereka atau apapun.”
“Tidak, kau salah besar bila berpikir begitu. Tidak ada Tuhan para kafir atau penyesat itu, tidak ada apapun disini, yang ada hanyalah Aku,”
“Lalu dimana salahku? Sudah kusebut bahwa hanya Engkau satu-satunya Tuhanku yang paling hebat,”
“Kenyataan yang harus Kukatakan adalah, Aku, Buddha, atau Dewa-Dewi saudaramu yang kau sebut kafir itu adalah satu. Tuhan hanya satu. Kepada-Kulah kalian berdoa, dan setiap doa kalian sampai ke tempatku,”
”Aku masih tak mengerti apa maksudmu,”
“Tentu tak sulit bagi engkau, yang pandai beragama untuk memahami maksud kata-kata-Ku itu bukan, anak-Ku?
“Tak semudah itu… Aku tak bias hanya modal bicara,”
“Baiklah, tunggulah disini sebentar, kau boleh melihat sekelilingmu sambil memikirkan maksud dari perkataan-Ku,”
“Tunggu! Aku ingin menanyakan sesuatu kepada-Mu, Allah Yang Maha Tahu,”
“Ya, apa?”
“Pintu apakah itu di kedua sisi ruang hampa ini?”
“Kau tidak akan tahu hingga kau melihatnya sendiri.” Jawab Allah lalu Ia pergi.
Amrozi yang semakin penasaran akhirnya mencoba memasukki pintu putih berbingkai cahaya di kanannya. Perlahan ia dorong daun pintunya, hanya terdengar suara doa-doa, dan harum tubuh para biarawan dan biarawati yang khas. Mereka hanya berdoa disana, berjejer membentuk barisan, saling berhadapan dan mengucap kalimat demi kalimat memuji Tuhan.
“Benarkan apa kataku, pasti orang-orang seperti aku yang masuk kesini, ini pasti surga,” pikir Amrozi.
Lalu, Amrozi menelusuri jalan yang penuh orang-orang berdoa itu. Sejauh ia melihat, hanya para pendoa yang ada disini, jadi ia merasa jenuh dan sudah melihat semuanya. Berbaliklah sisi tubuhnya, ia keluar dari pintu itu dan coba masuk ke pintu merah berbingkai hitam. Musik berdendang kencang, ya, seperti di diskotik. Orang-orang berpesta dan berteriak-teriak tak karuan. Beberapa wanita menari di tengahnya. Sungguh suasana yang ramai.
“Pasti mereka yang banyak dosa masuk disini, ini tempat orang-orang murtad, tempat para orang yang berbuat maksiat,” kata Amrozi dalam hati.
Setelah ia lihat semua daripada itu, ia kembali ke ruang hampa sambil berpikir dan mencerna seluruh kata-kata Tuhan-Nya. Tiba-tiba terselip suatu jalan pikir lain di otaknya.
“Aah.. kalau di bumi aku sudah harus memuja Tuhan yang membingungkan itu untuk masuk surga, lalu untuk apa di surga aku masih harus memuja Dia? Lalu untuk apa selama di bumi ini aku setiap hari mengucap nama-Nya? Sedangkan orang-orang di neraka itu tetap menjalankan kenikmatannya seperti biasa! Tidak ada rasa bersalah ataupun penyesalan,”
Dan seketika itu, Tuhan kembali menemui Amrozi.
“Sudah cukup lama aku tinggal kau disini,”
“Kurasa begitu,”
“Aku tak akan Tanya apa kau sudah mengerti ataukah belum, karena Aku mempercayai Engkau bahwa sebagai manusia yang Ku-anugerahi kecerdasan seharusnya kau tahu,”
“Tentu, aku yang terpintar disbanding ciptaan-Mu yang lain, apalagi para kafir tolol itu,”
Tuhan tahu, bahwa Amrozi sudah melihat surga dan neraka itu meskipun Amrozi tidak menanyakan apa maksud surga dan neraka yang dilihatnya tadi kepada Dia. Dan Dia juga tahu bahwa Amrozi belum sepenuhnya mengerti dan meresapi ucapan-Nya tadi, jadi Ia melemparkan semuanya ini kembali ke Amrozi
“Baik, jadi kau ingin masuk neraka atau surga?”
“Surga,”
“Apa kau yakin ingin pilih masuk surga?”
Kembali terlintas pikirannya yang tadi bahwa surgalah justru yang tempat orang-orang munafik dan bodoh, Ia seperti ditipu Tuhan.
“Neraka saja, Tuhan?”
“Apa kau yakin ingin pilih masuk neraka?”
“Tentu, Allah Tuhanku,”
“Akan kupanggilkan seorang malaikat untuk mengantarmu kesana,”
Dan saat tiba di neraka, ia sudah tak sabar ingin melepas kedok sucinya yang selama ini ia pertahankan hanya untuk kembali berdoa di surga sana. Ia ingin bias mengecap nikmat keduniawian! Namun, terkejutlah ia ketika kembali tiba di neraka. Ruang siksalah telah menanti dia, tak dapat dikatakan lagi “nikmatnya” dunia disana. Iblis-iblis menunggui dia dan seketika menggandengnya masuk, ini tempat terlarang bagi malaikat.
“Lepaskan!” Teriak Amrozi.
“Maksudmu?” Jawab si iblis konyol.
“Apa-apaan ini? Kemana orang-orang berpesta tadi?”
“Maaf, dapat dikatakan bahwa neraka tadi hanya promosi, bukan promosi sih, bagaimana ya, susah untuk dijelaskan,”
“Sial!”
“Bukan begitu, bukan menipu,”
“Lalu apa namanya?”
“Setiap ada orang baru yang sampai di akhirat, pasti kami semua selalu melakukannya, kok,”
“Jadi, itu cobaan dari Tuhan untuk menguji iman para umat-Nya?”
“Ya, itulah maksud Dia,”
“Kau, lepaskan aku! Aku umat-Nya yang paling suci disini!”
“Siapakah engkau? Kau tak dapat berkompromi dengan kami, kaum iblis, hahaha,”
Saat itu juga si iblis berubah menjadi kasar terhadap Amrozi, ia bawa paksa Amrozi semakin dalam dari pintu neraka. Amrozi hanya bisa menyesali apa yang sudah dilihatnya tadi, namun ia yang hingga saat-saat terakhir belum menyadari kesalahannya itulah imbalan yang setimpal bagi dia. Berakhirlah ia di neraka.

0 comments: